Raymond Kelvin Nando — Robert Merrihew Adams (8 September 1937 – 16 April 2024) adalah seorang filsuf analitik Amerika yang menempati posisi penting dalam perkembangan metafisika, etika, dan filsafat agama modern, dikenal karena kemampuannya menjembatani ketelitian logis analitik dengan kedalaman refleksi religius.
Daftar Isi
Biografi Robert Merrihew Adams
Lahir di Philadelphia dan menempuh pendidikan di Cornell sebelum melanjutkan studi teologi di Oxford, Adams kemudian mengajar di sejumlah universitas terkemuka seperti UCLA, Yale University, dan University of North Carolina, menghasilkan generasi murid yang sangat dipengaruhi oleh ketelitian argumentatif dan karakternya yang rendah hati. Ia terkenal karena versi modern dari Divine Command Theory yang ia rumuskan dengan hati-hati: menurutnya, moralitas tidak sekadar berasal dari perintah Tuhan, tetapi berakar pada sifat Tuhan yang penuh kasih, sehingga kebaikan moral dan realitas etis harus dipahami melalui hubungan antara manusia, nilai-nilai terbatas, dan kebaikan ilahi yang tak terbatas. Dalam metafisika, ia memberikan kontribusi yang sangat besar dalam diskusi tentang modalitas, identitas, thisness, actualism, serta struktur realitas yang mungkin dan aktual, membuka jalan bagi berbagai perdebatan mengenai eksistensi, kemungkinan, dan hakikat objek dalam filsafat analitik kontemporer. Karya-karyanya seperti Finite and Infinite Goods, A Theory of Virtue, dan Leibniz: Determinist, Theist, Idealist menunjukkan kedalaman pemikirannya, memadukan analisis moral, teori nilai, dan pemahaman metafisik tentang hubungan antara yang terbatas dan yang tak terbatas, serta menawarkan kerangka etika yang sangat berpengaruh bagi filsafat moral teistik. Adams dipandang sebagai sosok yang mampu mempertahankan kesetiaan religius tanpa mengorbankan ketelitian intelektual, sekaligus memperlihatkan bahwa filsafat analitik mampu merangkul pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendasar. Ia meninggal pada 2024 pada usia 86 tahun, meninggalkan jejak mendalam dalam dunia filsafat melalui gagasan-gagasannya yang terus dikaji, dibahas, dan diperdebatkan, serta melalui reputasinya sebagai pemikir yang lembut, jujur, dan penuh integritas, yang menjadikan warisannya tetap hidup baik di dunia akademik maupun dalam percakapan filosofis tentang moralitas, Tuhan, dan struktur realitas itu sendiri.
Pemikiran Robert Merrihew Adams
Haecceity (Thisness)
Anti-Haecceitism
Anti-haecceitism menolak gagasan bahwa identitas individu ditentukan oleh sesuatu yang tak berkualitas dan tak terbagi, karena identitas yang dilepaskan dari kualitas berubah menjadi elemen metafisik tanpa fungsi.
Struktur individu dianggap sepenuhnya dapat dijelaskan oleh pola sifat, relasi, dan posisi dalam dunia, sehingga tidak ada kebutuhan untuk menambahkan “penanda khusus” yang tidak berkontribusi terhadap isi apa pun. Jika dua entitas dibayangkan identik kualitasnya, anti-haecceitism menegaskan bahwa tidak ada fakta lebih lanjut mengenai siapa yang siapa; seluruh perbedaan yang tidak termanifestasi dalam sifat adalah perbedaan kosong.
Di bawah kerangka ini, identitas bukan unsur primitif, tetapi terminologi praktis untuk menandai kontinuitas kualitas yang terorganisasi. Individu berbeda karena konfigurasi sifatnya berbeda; ketika konfigurasi sepenuhnya sama, tidak ada alasan metafisik untuk menegaskan dua identitas yang terpisah. Model ini menjadikan kualitas sebagai penentu terakhir keberbedaan dan menolak semua entitas khusus yang tidak memberikan kandungan deskriptif.
Thisness
Thisness adalah penanda identitas yang melekat pada suatu individu sebagai ciri yang membuatnya menjadi dirinya sendiri dan bukan yang lain. Ia bukan sifat umum, melainkan penanda keunikan yang muncul dari struktur keberadaan individu tertentu sebagai pusat kontinuitas pengalaman, relasi, dan lokasi metafisiknya.
Identitas pribadi dipahami sebagai keutuhan yang tidak dapat direduksi ke rangkaian kualitas terpisah, karena kualitas dapat dibagi atau dibayangkan berpindah, tetapi individu yang memikul kualitas itu memiliki inti pengenal yang tidak tersubstitusi. Thisness memuat fungsi penegas bahwa suatu entitas tetap entitas itu meski mengalami perubahan kualitas, selama kontinuitas dasar dari “siapa” itu bertahan.
Dalam pandangan moderat, thisness tidak dipisahkan dari sifat; ia muncul dari hubungan antara struktur kualitatif dan keberadaan aktual individu sebagai titik unik dalam jaringan kemungkinan. Individu aktual memiliki thisness karena eksistensinya menegakkan batas yang tidak dapat digantikan oleh pola sifat belaka.
Haecceity
Haecceity menandai keunikan paling dasar dari suatu individu, yaitu apa yang membuat entitas itu menjadi dirinya sendiri dan bukan entitas lain meskipun seluruh sifat kualitatifnya dapat dibayangkan sama dengan yang lain.
Haecceity bukan deretan sifat, bukan ciri yang dapat dibagikan, tetapi inti identitas yang tidak dapat dipertukarkan dan tidak tersubstitusi, semacam tanda metafisik yang menyegel ke-“ini”-an suatu individu. Konsep ini berfungsi untuk menjelaskan bagaimana dua entitas yang secara kualitatif identik tetap dapat dibedakan, karena masing-masing membawa identitas unik yang tidak dapat dilebur ke dalam keserupaan.
Dalam bentuk moderatnya, haecceity tidak sepenuhnya terpisah dari kualitas, tetapi muncul dari hubungan individu dengan struktur sifat yang membentuk kontinuitas dirinya sepanjang perubahan dan kemungkinan dunia lain. Haecceity pada individu aktual menjadi dasar bagi gagasan bahwa identitas tidak hanya bergantung pada apa yang dimiliki, tetapi pada siapa entitas itu secara tak tergantikan sebagai pusat keberadaan tunggal.
Moderate haecceitism
Moderate haecceitism mempertahankan bahwa individu memiliki identitas primitif yang tidak direduksi sepenuhnya ke sifat kualitatif, tetapi identitas itu tetap terhubung dengan struktur kualitas yang membentuk keberadaannya.
Identitas lintas kemungkinan dunia tidak dijelaskan hanya oleh kesamaan sifat, namun juga tidak bergantung pada entitas metafisik yang sepenuhnya terlepas dari kualitas; yang dipertahankan adalah titik tengah: individu memiliki “inti identitas” yang membuatnya tetap diri yang sama di berbagai dunia mungkin, tetapi inti itu beroperasi di dalam jaringan sifat yang menyokong kontinuitasnya.
Pendekatan ini memungkinkan dua hal sekaligus: pertama, bahwa individu tidak larut menjadi sekadar kumpulan kualitas; kedua, bahwa identitas tidak terlempar ke ranah misterius yang sama sekali tak berkaitan dengan karakteristik yang dapat dipahami.
Mode ini menjaga keunikan individu tanpa membuatnya metafisik asing bagi dunia, sehingga identitas pribadi, keberlanjutan eksistensi dalam skenario modal, dan perbedaan antarindividu tetap dapat dijelaskan tanpa memutus hubungan antara “siapa” dan “apa” dalam diri setiap entitas.
Esensi Sifat Kualitatif
Esensi sebagai sifat kualitatif menempatkan inti suatu hal pada kumpulan karakteristik yang dapat dijelaskan tanpa mengandaikan identitas primitif yang berdiri sendiri. Suatu entitas memiliki esensi karena ia dibentuk oleh struktur sifat yang menentukan apa yang membuatnya menjadi jenis hal tertentu, bukan karena ia memuat “inti diri” yang tak terjangkau analisis.
Esensi di sini bukan thisness, tetapi pola kualitatif yang menetapkan batas-batas kemungkinan: entitas dapat berubah dalam banyak hal, namun ia tetap harus mempertahankan sifat-sifat dasar yang membentuk pengertian mengenai dirinya.
Keperluan akan esensi bersifat konseptual, karena tanpa sifat kualitatif yang mendefinisikan sesuatu, tidak mungkin membedakan antara apa yang menjadi bagian dari identitas jenisnya dan apa yang hanya merupakan aksiden.
Pendekatan ini memberi ruang untuk menjelaskan stabilitas dalam perubahan, konsistensi dalam penilaian modal, dan hubungan antara makhluk dengan struktur dunia yang memungkinkan keberadaannya, sambil tetap menolak ide bahwa identitas personal atau individualitas terletak di luar ranah sifat yang dapat dipahami.
Possible Worlds
Possible worlds dipahami sebagai world-stories, yaitu deskripsi lengkap dan konsisten tentang bagaimana dunia bisa saja berlangsung tanpa mengandaikan bahwa dunia-dunia itu benar-benar ada sebagai entitas terpisah.
Dunia mungkin hanyalah konstruksi naratif yang memuat detail maksimal mengenai peristiwa, sifat, dan hubungan yang memungkinkan, sehingga penalaran modal tidak bergantung pada komitmen ontologis terhadap “ruang dunia” yang berdiri sendiri. Pendekatan ini menjadikan kemungkinan sebagai persoalan koherensi deskriptif: sesuatu mungkin jika dapat dimasukkan ke dalam sebuah cerita dunia yang tak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar.
Pandangan semacam ini menjaga kedekatan antara modalitas dan bahasa sekaligus menghindari inflasi metafisik, sebab dunia-dunia alternatif hanyalah cara memetakan struktur kemungkinan, bukan kumpulan entitas yang bersaing dengan dunia aktual.
Dalam kerangka ini, pernyataan tentang apa yang mungkin, mustahil, atau perlu, ditentukan oleh apakah suatu skenario dapat dirumuskan sebagai gambaran lengkap yang tetap stabil, serta apakah ia terhubung dengan seperangkat kondisi yang membuatnya dapat dibayangkan tanpa mengacaukan logika internal dunia tersebut.
Indiscernibility Cases
Alam semesta bersifat siklus
Alam semesta yang bersifat siklus menggambarkan skenario di mana seluruh rangkaian peristiwa berulang secara sempurna, sehingga setiap kejadian memiliki duplikasi yang sama dalam kualitas, urutan, dan hubungan.
Dalam skema ini, identitas tidak dapat lagi ditentukan oleh isi atau sifat-sifat yang menyusun peristiwa, karena setiap momen memiliki kembaran yang tak terbedakan. Situasi seperti ini menegaskan bahwa kesamaan kualitas tidak cukup untuk menetapkan keunikan suatu peristiwa, sebab dua segmen waktu yang identik secara sempurna tetap dapat dianggap berbeda hanya karena menempati posisi yang berbeda dalam siklus kosmik.
Pandangan ini memperlihatkan batas-batas penjelasan berbasis kualitas: jika seluruh struktur alam semesta kembali persis ke pola yang sama, maka perbedaan numerik tidak muncul dari apa yang terjadi, tetapi dari kapan dan di mana pengulangan itu berada. Dalam gambaran modal, kemungkinan siklus semacam ini menunjukkan bahwa dunia dapat memuat kejadian-kejadian yang identik secara menyeluruh tanpa menghapus perbedaan numeriknya, sehingga identitas tidak dapat direduksi hanya pada kumpulan sifat tetapi menuntut faktor yang lebih mendasar, seperti posisi dalam rangkaian atau keunikan instansiasi.
Peristiwa yang berbeda namun tidak dapat dibedakan mungkin terjadi
Dua kejadian dapat memiliki seluruh sifat, kualitas, dan relasi yang sama tanpa menjadi satu peristiwa yang identik. Kemungkinan ini memperlihatkan bahwa isi pengalaman atau struktur sifat bukan penentu final dari identitas.
Dua kejadian bisa muncul dalam kondisi yang sama persis, dilakukan oleh agen yang sama, berlangsung dalam konteks yang tak terbedakan, namun tetap dihitung sebagai dua instans numerik yang terpisah. Duplikasi semacam ini memperluas ruang modal, sebab ia menunjukkan bahwa dunia dapat mengandung pengulangan sempurna tanpa menyatukan entitas yang berulang itu menjadi satu hal yang sama.
Di dalam kerangka ini, perbedaan numerik tidak muncul dari “apa” yang terjadi, tetapi dari fakta bahwa kejadian itu muncul sebagai instans lain meskipun isi fenomenalnya identik. Hal ini memperkuat gagasan bahwa identitas tidak dapat dilepaskan pada kualitas semata, sebab kualitas dapat tersalin tanpa batas, sementara perbedaan numerik tetap bertahan sebagai ciri dasar realitas.
Black’s two spheres
Peristiwa yang berbeda namun tidak dapat dibedakan menunjukkan bahwa kesamaan total dalam kualitas tidak menyatukan dua kejadian menjadi satu identitas. Dua peristiwa dapat memiliki struktur, urutan, pelaku, dan kondisi yang sama persis, namun tetap dihitung sebagai dua instans numerik yang terpisah.
Duplikasi semacam ini memperlihatkan bahwa kualitas tidak memiliki kekuatan untuk menetapkan identitas, karena kualitas dapat tersalin tanpa batas sementara perbedaan numerik tetap berdiri sendiri. Kemungkinan ini memperluas cara memandang realitas: dunia dapat memuat pengulangan sempurna tanpa kehilangan perbedaan antara salinan-salinan itu. Peristiwa tetap berbeda hanya karena muncul sebagai instans lain, bukan karena memiliki sifat berbeda. Identitas numerik, bukan kumpulan kualitas, yang mempertahankan perbedaan ontologis di antara keduanya.
Karya Robert Merrihew Adams
- Theories of Actuality (1974)
- Primitive Thisness and Primitive Identity (1979)
- Divine Command Metaethics Modified Again (1981)
- Flavors, Colors, and God (1983)
- Divine Necessity (1983)
- Moral Arguments for Theistic Belief (1983)
- The Virtue of Faith and Other Essays in Philosophical Theology (1987)
- Vocation (1987)
- Presumptive Beneficence (1989)
- Leibniz: Determinist, Theist, Idealist (1994)
- Things in Themselves (1997)
- Finite and Infinite Goods: A Framework for Ethics (1999)
- A Theory of Virtue: Excellence in Being for the Good (2006)
- Actualism and Thisness (2007)
- Perfection and Goodness in God (2009)
- What Is, and What Is In Itself: A Systematic Ontology (2021)
Referensi
- Adams, R. M. (1972). Must God create the best? The Philosophical Review, 81(3), 317–332.
- Adams, R. M. (1973). A modified divine command theory of ethical wrongness. Religion and Morality, 318–347.
- Adams, R. M. (1979). Divine command metaethics modified again. The Journal of Religious Ethics, 7(1), 66–79.
- Adams, R. M. (1987). Moral arguments for theistic belief. In A. Plantinga & N. Wolterstorff (Eds.), Faith and rationality (pp. 144–163). University of Notre Dame Press.
- Adams, R. M. (1994). Leibniz: Determinist, theist, idealist. Oxford University Press.
- Adams, R. M. (1999). Finite and infinite goods: A framework for ethics. Oxford University Press.
- Adams, R. M. (2000). Duty and divine commands. Philosophical Perspectives, 14, 1–27.
- Adams, R. M. (2002). The problem of evil. In B. Davies (Ed.), Philosophy of religion: A guide and anthology (pp. 375–387). Oxford University Press.
- Adams, R. M. (2005). The faith and reason of Gordon Kaufman. Harvard Theological Review, 98(3), 335–351.
- Adams, R. M. (2006). The virtues of God’s commands. Proceedings of the Aristotelian Society, 80, 13–28.
- Adams, R. M. (2010). Universal obligation and the call of love. Journal of Religious Ethics, 38(4), 669–691.
- Adams, R. M. (2011). A theory of virtue for theistic ethics. In D. S. Oderberg (Ed.), The virtue of faith and other essays (pp. 45–63). Oxford University Press.
- Adams, R. M. (2013). God and the good. In P. Copan & P. Moser (Eds.), The Oxford handbook of philosophical theology (pp. 45–63). Oxford University Press.
- Adams, R. M. (2014). Normativity and theistic ethics. International Journal for Philosophy of Religion, 75(1), 5–20.
- Adams, R. M. (2017). Value, obligation, and the divine nature. Faith and Philosophy, 34(1), 5–21.