Martha Nussbaum

Raymond Kelvin Nando — Martha C. Nussbaum adalah seorang filsuf Amerika kontemporer yang dikenal luas atas kontribusinya dalam bidang etika, filsafat politik, dan teori keadilan. Ia merupakan tokoh sentral dalam pengembangan Capability Approach bersama Amartya Sen, dan pemikirannya banyak berfokus pada hubungan antara emosi, moralitas, dan kemanusiaan dalam masyarakat modern.

Biografi Martha Nussbaum

Martha Craven Nussbaum lahir pada 6 Mei 1947 di New York City, Amerika Serikat. Ia menempuh pendidikan di New York University dan kemudian meraih gelar Ph.D. dari Harvard University dengan disertasi tentang filsafat Yunani kuno, khususnya Aristoteles.

Nussbaum memulai karier akademiknya sebagai dosen di Harvard sebelum kemudian mengajar di Brown University dan akhirnya di University of Chicago, tempat ia menjadi profesor hukum dan etika. Ia dikenal sebagai salah satu pemikir moral paling berpengaruh di dunia, dengan karya-karya yang menjembatani antara filsafat klasik, teori feminisme, dan keadilan sosial.

Karya-karya utamanya antara lain The Fragility of Goodness (1986), Women and Human Development (2000), Upheavals of Thought (2001), dan Creating Capabilities (2011).

Pemikirannya berupaya untuk mengembalikan dimensi kemanusiaan dalam filsafat moral dan politik, dengan menekankan bahwa emosi, martabat, dan potensi manusia adalah inti dari keadilan sosial.

Konsep-Konsep Utama

The Capability Approach (Pendekatan Kapabilitas)

Konsep utama yang dikembangkan Nussbaum bersama ekonom Amartya Sen adalah Capability Approach, sebuah kerangka normatif yang digunakan untuk mengevaluasi kesejahteraan manusia dan keadilan sosial. Pendekatan ini menolak pandangan utilitarian yang mengukur kebahagiaan hanya berdasarkan kepuasan atau pendapatan, dan menggantinya dengan ukuran kebebasan nyata yang dimiliki seseorang untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga.

Orang lain juga membaca :  Ferdinand de Saussure

Dalam Creating Capabilities (2011), Nussbaum menulis:

The crucial question is not what people are actually doing, but what they are in fact able to do and to be. (Creating Capabilities, 2011, hlm. 18)

Kutipan ini menekankan bahwa keadilan sejati terletak pada pemberian kemampuan (kapabilitas) kepada setiap individu untuk mengembangkan potensi dan memilih kehidupan yang bermakna.

Nussbaum mengidentifikasi sepuluh central capabilities yang menjadi dasar bagi kehidupan manusia yang bermartabat, antara lain:

  1. Life – kemampuan untuk hidup hingga akhir kehidupan manusiawi.
  2. Bodily health – memiliki kesehatan yang layak.
  3. Bodily integrity – kebebasan bergerak dan perlindungan dari kekerasan.
  4. Senses, imagination, and thought – kebebasan berpikir dan berimajinasi.
  5. Emotions – kemampuan mencintai, berduka, dan berempati.
  6. Practical reason – kemampuan merefleksikan apa yang baik bagi diri sendiri.
  7. Affiliation – hidup dengan dan untuk orang lain, dengan rasa hormat.
  8. Other species – menghormati makhluk hidup lain dan lingkungan.
  9. Play – kemampuan untuk menikmati permainan dan rekreasi.
  10. Control over one’s environment – berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi.

Bagi Nussbaum, negara memiliki kewajiban moral untuk menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan semua orang mengembangkan kapabilitas tersebut.

Emotions and Ethics (Emosi dan Etika)

Selain keadilan sosial, Nussbaum juga banyak menulis tentang peran emosi dalam etika dan kehidupan publik. Dalam Upheavals of Thought (2001), ia menolak pandangan bahwa emosi adalah lawan dari rasionalitas. Sebaliknya, emosi bagi Nussbaum adalah bentuk penilaian terhadap hal-hal yang kita anggap penting secara moral.

Ia menulis:

Emotions are not just blind surges of affect; they are intelligent responses to the perception of value. (Upheavals of Thought, 2001, hlm. 25)

Dengan demikian, cinta, belas kasih, dan empati adalah bagian integral dari penilaian moral yang matang. Emosi bukan penghalang rasionalitas, melainkan fondasi bagi kehidupan etis dan politik yang manusiawi.

Orang lain juga membaca :  Ibn Rushd (Averroes)

Dalam konteks politik, Nussbaum bahkan berpendapat bahwa negara demokratis perlu menumbuhkan public emotions — seperti cinta universal dan solidaritas — agar warga negara mampu hidup bersama secara adil dan saling menghormati.

The Fragility of Goodness (Kerapuhan Kebaikan)

Dalam karya awalnya The Fragility of Goodness (1986), Nussbaum mengeksplorasi pemikiran tragedi Yunani dan filsafat Aristoteles tentang bagaimana kehidupan baik (eudaimonia) sangat bergantung pada faktor-faktor di luar kendali manusia.

Nussbaum menulis:

The goodness of a human life is fragile because it depends on things beyond our control. (The Fragility of Goodness, 1986, hlm. 3)

Melalui analisis ini, ia menyoroti kerentanan manusia terhadap nasib dan keberuntungan, sekaligus menolak pandangan moralistik yang menganggap individu sepenuhnya bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.

Dalam Konteks Lain

Filsafat Feminisme dan Keadilan Sosial

Nussbaum adalah salah satu tokoh utama feminisme liberal yang menekankan pentingnya martabat manusia dan kesetaraan kesempatan bagi perempuan. Ia berpendapat bahwa ketidakadilan terhadap perempuan tidak dapat diatasi hanya dengan pemberian hak formal, melainkan dengan memperluas kapabilitas nyata mereka.

Dalam Women and Human Development (2000), ia menulis:

Development must be concerned with enabling women to lead lives they have reason to value. (Women and Human Development, 2000, hlm. 5)

Dengan demikian, feminisme bagi Nussbaum bukan hanya perjuangan politik, tetapi juga perjuangan etis untuk membangun masyarakat yang menghargai potensi manusia sepenuhnya.

Kesimpulan

Pemikiran Martha Nussbaum menggabungkan kedalaman filsafat klasik dengan kepekaan terhadap persoalan moral dan sosial modern. Melalui Capability Approach, ia menegaskan bahwa keadilan tidak hanya tentang distribusi sumber daya, tetapi tentang kebebasan dan kesempatan nyata untuk hidup bermartabat.

Karya-karyanya juga mengingatkan kita bahwa emosi — cinta, empati, dan belas kasih — adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan moral. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, Nussbaum mengajak manusia untuk membangun keadilan berdasarkan rasa hormat dan kepedulian terhadap sesama.

Orang lain juga membaca :  Kaspar Schwenckfeld

FAQ

Apa itu Capability Approach menurut Martha Nussbaum?

Pendekatan yang menilai keadilan berdasarkan kemampuan nyata individu untuk menjadi dan melakukan hal-hal yang mereka nilai penting dalam hidup.

Mengapa emosi penting dalam etika menurut Nussbaum?

Karena emosi mencerminkan penilaian terhadap nilai-nilai yang kita anggap penting, dan membantu membentuk hubungan moral yang bermakna dengan orang lain.

Apa hubungan pemikiran Nussbaum dengan feminisme?

Nussbaum memperluas teori keadilan untuk memasukkan kebutuhan dan pengalaman perempuan, menekankan pemberdayaan kapabilitas sebagai inti dari kesetaraan gender.

Referensi

  • Nussbaum, M. C. (1986). The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy. Cambridge University Press.
  • Nussbaum, M. C. (2000). Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge University Press.
  • Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions. Cambridge University Press.
  • Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities: The Human Development Approach. Harvard University Press.
  • Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.

Dukung berbagai Project Raymond Kelvin Nando kedepannya


Citation


Previous Article

Anthony D. Smith

Next Article

Anaxagoras