Byung-Chul Han

Raymond Kelvin Nando — Byung-Chul Han adalah seorang filsuf kontemporer Korea Selatan-Jerman, dikenal karena analisisnya tentang masyarakat neoliberal, budaya performativitas, krisis psikologis, dan fenomena digital dalam era modern. Tulisan-tulisannya yang ringkas namun tajam menjadikannya salah satu pemikir paling berpengaruh dalam kajian filsafat media, psikopolitik, dan teori budaya.

Biografi Byung-Chul Han

Byung-Chul Han lahir pada tahun 1959 di Seoul, Korea Selatan. Awalnya ia belajar metalurgi, tetapi segera meninggalkan bidang tersebut untuk mempelajari filsafat, teologi, dan sastra Jerman. Han pindah ke Jerman pada usia pertengahan dua puluhan, di mana ia menempuh studi filsafat di Freiburg dan München.

Di Jerman, Han terpengaruh oleh pemikir seperti Martin Heidegger, Michel Foucault, Walter Benjamin, dan tradisi fenomenologi. Ia kemudian mengajar di Hochschule für Gestaltung Karlsruhe (HfG Karlsruhe) dan menjadi salah satu suara paling penting dalam analisis budaya kontemporer.

Karakternya yang tertutup dan enggan tampil di media justru memperkuat pesonanya sebagai filsuf modern. Meski menolak popularitas, karya-karyanya tersebar luas dalam berbagai bahasa dan menjadi referensi utama dalam kajian teori kritis baru.

Han terus menulis mengenai masyarakat performativitas, budaya transparansi, digitalisasi, psikopolitik, dan eros di abad ke-21.

Konsep-Konsep Utama

Psychopolitik (Kekuasaan Psikologis)

Dalam era neoliberal, menurut Han, kekuasaan tidak lagi bekerja melalui paksaan eksternal, tetapi melalui pengendalian diri yang dipaksakan secara internal. Individu menjadi “budak diri sendiri,” termotivasi untuk bekerja lebih keras demi ideal performa yang ditanamkan sistem.

Neoliberalism makes the exploited into the very agents of their own exploitation. (Psychopolitics, 2017, hlm. 8)

Kekuasaan modern bersifat halus: ia menembus ke dalam psikis individu, membentuk keinginan, kepercayaan diri, dan identitas.

Orang lain juga membaca :  Edmund Burke

Müdigkeitsgesellschaft (Masyarakat Kelelahan)

Han menggambarkan dunia modern sebagai masyarakat yang dipenuhi rasa lelah kronis. Alih-alih ditekan oleh larangan, manusia modern ditekan oleh tuntutan produktivitas dan kinerja.

The tiredness of the neoliberal subject comes from the compulsion of achievement. (The Burnout Society, 2015, hlm. 21)

Kelelahan ini bukan sekadar fisik, tetapi eksistensial: hilangnya makna, orientasi, dan relasi manusiawi.

Transparenzgesellschaft (Masyarakat Transparansi)

Baginya, obsesi terhadap transparansi bukanlah kebebasan, melainkan bentuk baru pengawasan. Semua hal yang terlihat dianggap benar, padahal yang terlihat dapat menjadi alat kontrol.

Transparency is an ideology that levels the world into data and eliminates mystery and trust. (The Transparency Society, 2012, hlm. 14)

Transparansi menghilangkan kedalaman emosional dan kerahasiaan sebagai bagian dari relasi manusia.

Eros dan Negativitas

Han percaya bahwa masyarakat modern kekurangan negativitas, yaitu kemampuan untuk jarak, diam, kontemplasi, dan misteri. Tanpa negativitas, eros—kerinduan akan yang lain—menjadi tumpul.

Without negativity, eros becomes impossible. (The Agony of Eros, 2017, hlm. 5)

Hubungan manusia menjadi datar, dangkal, dan konsumtif.

Digitalisasi dan Big Data

Han mengkritik budaya digital yang mereduksi manusia menjadi data, dan interaksi menjadi komunikasi cepat tanpa kedalaman.

Digital communication abolishes the otherness necessary for genuine dialogue. (In the Swarm, 2017, hlm. 32)

Ia menggambarkan dunia digital sebagai “gerombolan” (Schwarm) tanpa arah, tanpa ruang kontemplatif, dan tanpa stabilitas makna.

Dalam Konteks Lain

Teori Kritis dan Warisan Kontinental

Han meneruskan tradisi teori kritis Jerman, tetapi dengan gaya pendek dan puitis yang berbeda dari Adorno atau Horkheimer. Ia menggabungkan fenomenologi, psikoanalisis, dan analisis budaya.

Power today is smart; it operates through freedom, not against it. (Psychopolitics, 2017, hlm. 16)

Ia memperluas gagasan Foucault tentang biopolitik dan memperkenalkan analisis baru mengenai subjektivitas neoliberal.

Orang lain juga membaca :  Lucretius

Kritik terhadap Kapitalisme dan Performa

Dalam masyarakat performativitas, individu menjadi “proyek diri” tanpa akhir: harus unggul, harus positif, harus produktif. Han menegaskan bahwa logika ini menghasilkan burnout kolektif dan hilangnya ruang untuk diam serta relasi autentik.

Relevansi Kontemporer

Karya Han sangat relevan untuk memahami fenomena modern seperti:

  • overwork dan burnout,
  • kecanduan media sosial,
  • hilangnya privasi,
  • budaya digital yang dangkal,
  • krisis mental global,
  • politik identitas yang meledak di ruang publik digital.

FAQ

Mengapa Byung-Chul Han menekankan konsep kelelahan?

Karena menurutnya, sistem neoliberal mendorong individu untuk mengeksploitasi diri sendiri demi produktivitas tanpa batas.

Apa hubungan Han dengan teori kritis?

Han memperluas tradisi teori kritis dengan fokus pada subjektivitas, digitalisasi, dan psikopolitik.

Apakah Han menolak teknologi?

Tidak sepenuhnya. Ia mengkritik dampak antropologis teknologi digital, bukan teknologinya itu sendiri.

Referensi

  • Han, B.-C. (2015). The Burnout Society. Stanford University Press.
  • Han, B.-C. (2012). The Transparency Society. Stanford University Press.
  • Han, B.-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and New Power. Verso.
  • Han, B.-C. (2017). The Agony of Eros. MIT Press.
  • Han, B.-C. (2017). In the Swarm. MIT Press.
  • Lemm, V. (2020). The Government of Things: Foucault and Han on Neoliberalism. Routledge.

Dukung berbagai Project Raymond Kelvin Nando kedepannya


Citation


Previous Article

Noam Chomsky

Next Article

Michael Sandel

Write a Comment

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *