Raymond Kelvin Nando, Pontianak — Akuntabilitas adalah prinsip normatif yang menuntut seseorang atau suatu entitas untuk memberikan pertanggungjawaban moral atas tindakannya di hadapan otoritas, komunitas, atau nilai universal.
Istilah ini berakar dari kata Latin accommodare (memberikan pertanggungjawaban) dan berkembang dalam diskursus filsafat etika sebagai syarat dasar kebebasan, tanggung jawab, dan legitimasi moral.
Akuntabilitas dalam filsafat etika bukan sekadar mekanisme administratif, melainkan dimensi eksistensial dari manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab.
Ia berkaitan erat dengan konsep tanggung jawab moral, kewajiban, dan keterikatan pada norma universal yang menuntut transparansi diri terhadap tindakannya.
Daftar Isi
Konsep-Konsep Utama
Tanggung Jawab Moral
Tanggung jawab moral adalah landasan akuntabilitas yang menegaskan keterikatan manusia pada kewajiban etis yang melampaui kepentingan pribadi. Dalam filsafat etika, individu tidak hanya dinilai dari konsekuensi perbuatannya, tetapi juga dari kesediaannya untuk mengakui, menanggung, dan mempertanggungjawabkan tindakannya.
Immanuel Kant mengatakan:
“Act only according to that maxim whereby you can, at the same time, will that it should become a universal law.” (Groundwork of the Metaphysics of Morals, 1785, hlm. 421)
Kant menekankan bahwa akuntabilitas moral harus berpijak pada rasionalitas dan prinsip universalitas. Dengan demikian, setiap individu harus mempertimbangkan apakah tindakannya layak dijadikan hukum moral bagi semua, sehingga akuntabilitas tidak dapat dipisahkan dari otonomi rasional.
Transparansi Etis
Transparansi etis adalah kemampuan untuk menyingkap motif, tujuan, dan tindakan secara jujur di hadapan orang lain maupun diri sendiri. Akuntabilitas etis menuntut keterbukaan, karena kebenaran moral tidak dapat berdiri dalam ruang tersembunyi, melainkan harus dihadirkan dalam dialog intersubjektif.
Jürgen Habermas mengatakan:
“Only those norms can claim to be valid that meet (or could meet) with the approval of all affected in their capacity as participants in a practical discourse.” (Moral Consciousness and Communicative Action, 1990, hlm. 66)
Habermas menegaskan bahwa transparansi akuntabilitas moral hanya sah bila melewati forum diskursus yang inklusif. Kejujuran dan keterbukaan adalah prasyarat normatif agar legitimasi moral dapat diakui oleh semua pihak.
Kebebasan dan Pertanggungjawaban
Kebebasan tanpa pertanggungjawaban hanya menghasilkan anarki moral. Akuntabilitas menegaskan bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan yang disertai kesediaan untuk menerima konsekuensi tindakan. Dalam filsafat eksistensialisme, kebebasan manusia tidak dapat dilepaskan dari beban pertanggungjawaban etis.
Jean-Paul Sartre mengatakan:
“Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does.” (Being and Nothingness, 1943, hlm. 553)
Sartre menempatkan akuntabilitas sebagai inti dari eksistensi manusia. Kebebasan bukanlah pembebasan dari tanggung jawab, melainkan keterikatan total pada konsekuensi dari pilihan dan tindakan, baik di hadapan diri sendiri maupun orang lain.
Keadilan dan Legitimasi Moral
Akuntabilitas berhubungan erat dengan prinsip keadilan, sebab hanya melalui mekanisme pertanggungjawaban, legitimasi moral dapat ditegakkan. Etika keadilan menuntut agar individu maupun institusi mempertanggungjawabkan tindakan mereka dalam kerangka normatif yang adil bagi semua pihak.
John Rawls mengatakan:
“Each person possesses an inviolability founded on justice that even the welfare of society as a whole cannot override.” (A Theory of Justice, 1971, hlm. 3)
Rawls menekankan bahwa akuntabilitas moral harus tunduk pada prinsip keadilan yang menghormati hak setiap individu. Pertanggungjawaban etis tidak dapat digantikan oleh utilitas kolektif semata, melainkan harus menghargai martabat pribadi sebagai subjek moral.
Dalam Konteks Lain
Politik dan Kekuasaan
Akuntabilitas dalam politik menekankan pada keterikatan pemegang kekuasaan terhadap prinsip etis yang melampaui kepentingan pribadi atau kelompok. Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
Hannah Arendt mengatakan:
“Power corresponds to the human ability not just to act but to act in concert.” (The Human Condition, 1958, hlm. 200)
Arendt menghubungkan akuntabilitas dengan kekuasaan kolektif yang lahir dari kebersamaan. Legitimasi politik hanya sah bila para pemegang kekuasaan bersedia mempertanggungjawabkan tindakannya dalam ruang publik bersama warga.
Hukum dan Norma Sosial
Dalam ranah hukum, akuntabilitas diwujudkan melalui kewajiban individu atau institusi untuk tunduk pada aturan normatif yang menjamin keadilan sosial. Namun, hukum hanya sah bila didukung oleh basis moral yang rasional.
Ronald Dworkin mengatakan:
“Law’s empire is defined by attitude, not territory or power or process.” (Law’s Empire, 1986, hlm. 413)
Dworkin menegaskan bahwa hukum sebagai institusi akuntabilitas moral bergantung pada sikap interpretatif yang menempatkan keadilan di atas proseduralisme. Akuntabilitas hukum karenanya bukan hanya kepatuhan formal, tetapi kesetiaan pada integritas moral hukum.
Ilmu Pengetahuan dan Pengetahuan Publik
Dalam ilmu pengetahuan, akuntabilitas berarti kewajiban etis ilmuwan untuk menjelaskan dasar metodologis, data, serta implikasi moral dari penemuan mereka. Etika akademik menuntut kejujuran intelektual sebagai bentuk akuntabilitas epistemik.
Karl Popper mengatakan:
“Science must begin with myths, and with the criticism of myths.” (Conjectures and Refutations, 1963, hlm. 50)
Popper menegaskan bahwa akuntabilitas ilmiah berarti keterbukaan terhadap kritik. Pengetahuan hanya dapat berkembang melalui kesediaan ilmuwan untuk mempertanggungjawabkan klaimnya dalam arena kritik rasional.
Teknologi dan Etika Digital
Dalam teknologi, akuntabilitas menyangkut tanggung jawab moral pengembang terhadap dampak etis dari ciptaan mereka. Algoritma dan sistem digital tidak netral, melainkan merefleksikan pilihan etis yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik.
Luciano Floridi mengatakan:
“The infosphere requires an ethical framework able to address new forms of agency and responsibility.” (The Ethics of Information, 2013, hlm. 89)
Floridi menekankan bahwa akuntabilitas etis di era digital membutuhkan kerangka normatif baru. Agen teknologi tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab moral atas informasi, algoritma, dan sistem yang mereka ciptakan.
Kesimpulan
Akuntabilitas dalam filsafat etika murni merupakan prinsip dasar yang menghubungkan tanggung jawab moral, kebebasan, transparansi, dan keadilan. Ia melampaui mekanisme administratif dan menjadi dimensi eksistensial manusia sebagai makhluk rasional yang wajib mempertanggungjawabkan tindakannya. Dalam berbagai konteks—politik, hukum, ilmu pengetahuan, maupun teknologi—akuntabilitas tetap hadir sebagai fondasi legitimasi moral.
Frequently Asked Questions (FAQ)
Apakah akuntabilitas identik dengan tanggung jawab hukum?
Apakah akuntabilitas identik dengan tanggung jawab hukum?
Bagaimana hubungan antara kebebasan dan akuntabilitas?
Kebebasan sejati selalu disertai dengan tanggung jawab moral; tanpa akuntabilitas, kebebasan kehilangan legitimasi etis.
Mengapa akuntabilitas penting dalam filsafat etika?
Karena akuntabilitas memastikan bahwa setiap tindakan manusia dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip rasional, keadilan, dan martabat manusia.
Referensi
- Arendt, H. (1958). The Human Condition. University of Chicago Press.
- Dworkin, R. (1986). Law’s Empire. Harvard University Press.
- Floridi, L. (2013). The Ethics of Information. Oxford University Press.
- Habermas, J. (1990). Moral Consciousness and Communicative Action. MIT Press.
- Kant, I. (1785). Groundwork of the Metaphysics of Morals. Cambridge University Press (edisi terjemahan).
- Popper, K. (1963). Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. Routledge.
- Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
- Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness. Routledge (edisi terjemahan).