Raymond Kelvin Nando, Pontianak — John Scotus Eriugena adalah seorang filsuf dan teolog asal Irlandia abad ke-9 yang dikenal sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam tradisi filsafat Kristen awal Abad Pertengahan. Ia menekankan hubungan erat antara akal dan wahyu serta menyusun sintesis metafisik yang kelak memengaruhi skolastisisme.
Daftar Isi
Biografi John Scotus Eriugena
John Scotus Eriugena lahir sekitar tahun 815 di Irlandia. Pendidikan awalnya didapat di biara-biara, di mana ia mempelajari bahasa Latin, Yunani, dan filsafat patristik. Keahliannya dalam bahasa Yunani menjadikannya unik pada masanya, sebab di Barat hampir tidak ada intelektual yang mampu mengakses langsung karya-karya filsafat Yunani.
Sekitar tahun 845, ia pindah ke Perancis dan menjadi kepala sekolah di istana Raja Charles the Bald. Di sana ia mendapat kesempatan untuk menerjemahkan dan mempelajari karya-karya filsafat Kristen Timur, termasuk tulisan Pseudo-Dionysius Areopagita.
Eriugena menulis Periphyseon atau De Divisione Naturae, sebuah karya filsafat besar yang berusaha menyusun pemahaman kosmologis dan teologis yang komprehensif. Karya ini dianggap sebagai tonggak penting dalam perkembangan filsafat skolastik meskipun menuai kontroversi.
Ia juga menerjemahkan karya-karya Gregorius dari Nyssa dan Maximus Confessor, yang memperkenalkan gagasan-gagasan teologi mistik Timur ke dalam dunia intelektual Latin.
Sekitar akhir hidupnya, Eriugena diyakini kembali ke Inggris. Tahun kematiannya tidak pasti, tetapi diperkirakan sekitar tahun 877.
Konsep-Konsep Utama
Hubungan antara Akal dan Wahyu
Eriugena menekankan bahwa akal dan wahyu berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Baginya, akal adalah sarana untuk menafsirkan wahyu, dan keduanya tidak dapat dipisahkan.
John Scotus Eriugena mengatakan:
“True authority never contradicts right reason, nor can right reason ever contradict true authority.” (Periphyseon)
Eriugena menjelaskan bahwa otoritas sejati dan akal budi yang benar selalu sejalan. Jika tampak bertentangan, maka yang perlu ditafsirkan ulang adalah pemahaman manusia terhadap keduanya.
Empat Pembagian Alam (De Divisione Naturae)
Dalam Periphyseon, Eriugena membagi realitas ke dalam empat kategori: (1) yang mencipta dan tidak diciptakan, yaitu Tuhan; (2) yang diciptakan dan mencipta, yaitu ide-ide ilahi; (3) yang diciptakan dan tidak mencipta, yaitu dunia fenomenal; dan (4) yang tidak mencipta dan tidak diciptakan, yaitu Tuhan sebagai tujuan akhir.
John Scotus Eriugena mengatakan:
“All things return to that from which they proceeded.” (Periphyseon)
Eriugena menjelaskan bahwa seluruh realitas berasal dari Tuhan dan pada akhirnya kembali kepada-Nya. Skema ini menekankan proses emanasi sekaligus reditus atau kembalinya segala sesuatu.
Teologi Negatif dan Misteri Tuhan
Eriugena dipengaruhi oleh tradisi mistik Pseudo-Dionysius. Ia menekankan bahwa Tuhan melampaui semua kategori manusia, sehingga hanya dapat dipahami melalui teologi negatif, yaitu dengan mengatakan apa yang Tuhan bukan.
John Scotus Eriugena mengatakan:
“God is nothing, because He transcends all things.” (Periphyseon)
Eriugena menjelaskan bahwa Tuhan disebut nothing bukan dalam arti ketiadaan, melainkan karena keberadaan-Nya melampaui seluruh pengertian manusia.
Penciptaan Sebagai Emanasi Abadi
Bagi Eriugena, penciptaan bukanlah peristiwa temporal melainkan emanasi abadi. Dunia selalu bergantung pada Tuhan, bukan hanya pada awal waktu.
John Scotus Eriugena mengatakan:
“The creation of the world is the manifestation of the divine ideas.” (Periphyseon)
Eriugena menjelaskan bahwa dunia adalah penyingkapan ide-ide ilahi; penciptaan adalah partisipasi realitas dalam keabadian Tuhan.
Kembali kepada Tuhan (Redditus)
Seluruh ciptaan memiliki tujuan akhir kembali kepada Tuhan. Proses ini merupakan gerak kosmis di mana makhluk kembali kepada asalnya melalui pengetahuan, kebajikan, dan penyatuan spiritual.
John Scotus Eriugena mengatakan:
“The end is joined to the beginning, and in that joining, God is all in all.” (Periphyseon)
Eriugena menjelaskan bahwa akhir perjalanan kosmis bukanlah kehancuran, melainkan penyatuan total dengan Tuhan.
Kesatuan Kosmos dan Teologi Universal
Eriugena melihat alam semesta sebagai kesatuan yang tak terpisahkan dari Tuhan. Ia menolak dualisme keras dan justru menekankan interkoneksi segala sesuatu dalam Tuhan.
John Scotus Eriugena mengatakan:
“There is no nature that is not God.” (Periphyseon)
Eriugena menjelaskan bahwa setiap realitas, betapapun kecilnya, merupakan bagian dari manifestasi Tuhan.
Filsafat sebagai Jalan Menuju Kebijaksanaan Ilahi
Eriugena melihat filsafat bukan sekadar disiplin rasional, melainkan jalan menuju kebijaksanaan ilahi. Filsafat dan teologi baginya identik, sebab keduanya mengarah pada pengetahuan tertinggi tentang Tuhan.
John Scotus Eriugena mengatakan:
“True philosophy is true religion.” (Periphyseon)
Eriugena menjelaskan bahwa filsafat sejati haruslah religius, karena ia membuka jalan menuju penyatuan dengan Tuhan.
Dalam Konteks Lain
Dalam Tradisi Patristik dan Mistisisme Timur
Pemikiran Eriugena merupakan jembatan antara teologi Barat dan mistisisme Timur. Dengan menerjemahkan karya-karya Pseudo-Dionysius, ia memperkenalkan filsafat neoplatonis ke Barat.
Pseudo-Dionysius mengatakan:
“The divine is beyond being.” (The Mystical Theology)
Pseudo-Dionysius menjelaskan gagasan inti yang kemudian diadopsi Eriugena: Tuhan melampaui eksistensi, sehingga hanya bisa dipahami melalui pendekatan negatif.
Dalam Skolastisisme Abad Pertengahan
Meskipun Periphyseon sempat dikecam dan dilarang, gagasan Eriugena tentang akal dan wahyu serta emanasi kosmis memengaruhi pemikir skolastik kemudian, termasuk Anselm dan Thomas Aquinas.
Anselm mengatakan:
“I believe in order to understand.” (Proslogion)
Anselm menjelaskan keterhubungan iman dan akal, sejalan dengan warisan intelektual yang dibangun Eriugena.
Dalam Filsafat Modern
Karya Eriugena baru mendapat perhatian kembali pada era Renaisans dan modern. Filsuf seperti Hegel menilai Eriugena sebagai pemikir idealis awal.
Hegel mengatakan:
“Eriugena is the father of speculative philosophy in the Middle Ages.” (Lectures on the History of Philosophy)
Hegel menjelaskan bahwa Eriugena adalah pelopor pemikiran spekulatif, karena menyatukan filsafat dan teologi dalam kerangka idealis.
Dalam Teologi Kontemporer
Pemikiran Eriugena kini dikaji ulang sebagai jembatan lintas tradisi, terutama dalam teologi kosmik dan ekoteologi modern. Pandangannya tentang kesatuan kosmos memberi landasan untuk refleksi spiritual tentang lingkungan.
Teilhard de Chardin mengatakan:
“God is not remote from us. He is at the heart of the world.” (The Divine Milieu)
Teilhard menjelaskan bahwa gagasan kesatuan ilahi dan kosmos yang pernah diuraikan Eriugena tetap hidup dalam refleksi teologi modern.
Kesimpulan
John Scotus Eriugena adalah filsuf yang menggabungkan tradisi patristik, neoplatonisme, dan teologi Kristen dalam sebuah sistem komprehensif. Ia menekankan kesatuan akal dan wahyu, emanasi kosmis, serta kembalinya segala sesuatu kepada Tuhan. Meskipun kontroversial, pemikirannya menjadi salah satu fondasi bagi filsafat skolastik dan tetap relevan hingga kini.
Frequently Asked Questions (FAQ)
Apa karya utama John Scotus Eriugena?
Karya utamanya adalah Periphyseon atau De Divisione Naturae.
Mengapa pemikirannya dianggap kontroversial?
Karena ia menekankan kesatuan Tuhan dan alam dengan cara yang dianggap terlalu dekat dengan panteisme.
Apa warisan terbesar Eriugena bagi filsafat?
Ia membuka jalan bagi skolastisisme dengan menyatukan akal dan iman dalam sistem filsafat-teologi yang komprehensif.
Referensi
- Eriugena, J. S. (1987). Periphyseon (The Division of Nature). Montreal: Bellarmin.
- Gersh, S. (2006). Interpreting Proclus: From Antiquity to the Renaissance. Cambridge: Cambridge University Press.
- Hegel, G. W. F. (1995). Lectures on the History of Philosophy. Lincoln: University of Nebraska Press.
- Marler, J. (2011). Eriugena: East and West. Leuven: Peeters.
- O’Meara, J. J. (1988). Eriugena. Oxford: Oxford University Press.
- Pseudo-Dionysius. (1987). The Complete Works. New York: Paulist Press.
- Teilhard de Chardin, P. (1960). The Divine Milieu. New York: Harper.