Thomas More

Raymond Kelvin Nando — Thomas More adalah seorang filsuf humanis, negarawan, dan teolog asal Inggris yang dikenal melalui karyanya Utopia (1516), di mana ia menggambarkan tatanan masyarakat ideal berdasarkan rasionalitas, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Pemikirannya menjadi dasar penting bagi humanisme Renaisans serta inspirasi bagi berbagai teori sosial dan politik modern yang berorientasi pada moralitas dan keadilan sosial.

Biografi Thomas More

Thomas More lahir di London pada tahun 1478 dari keluarga kelas menengah yang terdidik. Ia menempuh pendidikan di St. Anthony’s School dan kemudian di Oxford University, di mana ia mempelajari logika, filsafat, dan sastra klasik. Di universitas inilah ia mulai tertarik pada gagasan-gagasan humanisme, khususnya dari Erasmus dari Rotterdam, yang kelak menjadi sahabat dekatnya.

Setelah belajar hukum di Lincoln’s Inn, More memulai kariernya sebagai pengacara dan anggota parlemen. Ia dikenal sebagai pribadi yang sangat disiplin, religius, dan berpikiran tajam. Pada masa pemerintahan Raja Henry VIII, ia diangkat menjadi Lord Chancellor Inggris, jabatan tertinggi di pemerintahan setelah raja.

Namun, hubungan More dengan raja memburuk ketika ia menolak mendukung perceraian Henry VIII dan menolak pengakuan terhadap Raja sebagai kepala Gereja Inggris. Karena sikap moral dan kesetiaannya pada prinsip iman Katolik, More dituduh berkhianat dan dihukum mati pada tahun 1535. Ia kemudian dikanonisasi sebagai Santo oleh Gereja Katolik pada tahun 1935.

Orang lain juga membaca :  Pietro Pomponazzi

Karya utamanya, Utopia, ditulis dalam bahasa Latin selama masa damainya di Antwerp. Buku tersebut menggambarkan masyarakat fiktif yang ideal di sebuah pulau, di mana tidak ada kepemilikan pribadi, dan semua warga hidup dalam kesetaraan dan rasionalitas.

Konsep-Konsep Utama

Utopia (Negara Ideal)

Dalam karya Utopia, More menggambarkan masyarakat imajiner yang hidup dalam keteraturan moral, kesetaraan ekonomi, dan keadilan sosial.

They have no lawyers among them, for they consider them as a sort of people whose profession it is to disguise matters and make them appear in a bad light. (Utopia, 1516, hlm. 87)

Pulau Utopia digambarkan sebagai masyarakat tanpa kepemilikan pribadi, di mana semua orang bekerja untuk kebaikan bersama. Harta dan kekuasaan tidak menjadi ukuran kebahagiaan, tetapi kebijaksanaan, moralitas, dan keseimbangan hidup. Dengan ini, More ingin menunjukkan kritik terhadap ketimpangan sosial dan korupsi politik di Eropa pada masa itu.

Kata utopia sendiri berasal dari bahasa Yunani ou-topos (tidak ada tempat) dan eu-topos (tempat yang baik). Permainan kata ini menggambarkan ambiguitas moral dan politik yang menjadi ciri khas pemikiran More — bahwa masyarakat ideal mungkin hanya dapat diwujudkan dalam imajinasi, namun tetap menjadi ukuran etis bagi realitas sosial.

Communal Life (Kehidupan Bersama)

Thomas More menekankan pentingnya kehidupan sosial yang berlandaskan kebersamaan dan solidaritas, bukan individualisme atau kepemilikan pribadi.

Wherever there is private property, all the worst evils in society inevitably follow. (Utopia, 1516, hlm. 91)

Bagi More, kepemilikan pribadi adalah sumber utama ketimpangan, kerakusan, dan ketidakadilan. Dalam masyarakat ideal, semua orang bekerja sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan. Dengan demikian, Utopia mencerminkan model keadilan distributif yang mendahului teori-teori sosialisme dan komunalisme modern.

Orang lain juga membaca :  Hermann Lotze

Lebih jauh, masyarakat Utopia menekankan pendidikan, etika rasional, dan kebebasan beragama sebagai pilar kehidupan bersama. Dalam pandangan More, manusia hanya dapat mencapai kebaikan sejati jika hidupnya diarahkan pada rasio dan moralitas universal.

Religious Humanism (Humanisme Religius)

Sebagai seorang Kristen humanis, More berupaya menyeimbangkan iman dan rasio. Ia tidak menolak dunia sekuler, tetapi menempatkannya dalam kerangka moral religius yang menuntun manusia menuju kebenaran.

No man’s reason or religion should be ridiculed, since God allows a variety of religions. (Utopia, 1516, hlm. 128)

More menolak fanatisme dan intoleransi agama. Baginya, toleransi adalah ekspresi rasionalitas moral, sebab kebenaran tidak dapat dipaksakan. Pandangan ini menunjukkan kedalaman spiritual sekaligus progresivitas intelektual yang melampaui zamannya.

Dengan menggabungkan moralitas Kristen dan rasionalitas klasik, More memperlihatkan bahwa iman dan akal tidak bertentangan, melainkan saling memperkaya dalam membangun masyarakat yang adil.

Dalam Konteks Lain

Etika Politik dan Keadilan Sosial

Thomas More melihat politik sebagai perwujudan etika publik, bukan sekadar perebutan kekuasaan. Bagi More, seorang pemimpin sejati harus menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi.

A prince ought to take more care of his people’s happiness than of his own. (Utopia, 1516, hlm. 142)

Gagasan ini menjadikan More salah satu perintis pemikiran etika politik normatif — suatu pandangan bahwa kekuasaan harus tunduk pada nilai moral. Dalam konteks modern, pemikiran ini dapat dianggap sebagai bentuk awal dari teori pemerintahan etis dan demokrasi moral.

Selain itu, kritik More terhadap kepemilikan pribadi dan kemiskinan mencerminkan kesadaran sosial yang tajam. Ia melihat bahwa sistem ekonomi berbasis keuntungan semata akan menghancurkan solidaritas manusia. Karena itu, ia menegaskan bahwa keadilan sosial hanya mungkin terwujud bila masyarakat hidup secara rasional dan saling berbagi.

Orang lain juga membaca :  Charles Sanders Peirce

Humanisme dan Pendidikan

More menempatkan pendidikan sebagai fondasi masyarakat ideal. Ia percaya bahwa kebodohan adalah akar segala ketidakadilan. Pendidikan harus mengembangkan kemampuan berpikir kritis, moralitas, dan kebijaksanaan praktis.

Pemikiran ini menjadikannya sebagai salah satu tokoh utama humanisme Renaisans, sejajar dengan Erasmus dan Pico della Mirandola. Melalui Utopia, ia menyampaikan bahwa pencerahan intelektual dan spiritual manusia merupakan sarana utama menuju kemajuan sosial.

Kesimpulan

Thomas More memperlihatkan bagaimana rasio, moralitas, dan iman dapat disatukan dalam visi sosial yang ideal. Melalui Utopia, ia menawarkan kritik tajam terhadap masyarakat feodal dan menegaskan cita-cita keadilan yang bersifat universal. Sebagai filsuf humanis dan martir kebenaran, More menjadi simbol abadi perjuangan antara hati nurani dan kekuasaan, serta teladan bagi integritas moral dalam politik.

FAQ

Apa arti utama dari Utopia karya Thomas More?

Utopia menggambarkan masyarakat ideal yang menolak kepemilikan pribadi, menjunjung keadilan sosial, dan menempatkan moralitas serta rasionalitas sebagai dasar kehidupan bersama.

Apakah Thomas More seorang sosialis awal?

Meskipun bukan sosialis dalam arti modern, pandangannya tentang kehidupan komunal dan kritik terhadap kepemilikan pribadi menginspirasi banyak pemikir sosialisme awal.

Bagaimana hubungan Thomas More dengan humanisme Kristen?

More menggabungkan prinsip-prinsip moral Kristiani dengan rasionalitas humanistik, menjadikan iman dan akal sebagai dua pilar yang saling melengkapi.

Referensi

  • More, T. (1516). Utopia. Leuven: Dirk Martens.
  • Erasmus, D. (1529). The Praise of Folly. Basel: Froben Press.
  • Logan, G. M., & Adams, R. M. (1989). Selected Letters of Thomas More. Yale University Press.
  • Hexter, J. H. (1952). The Vision of Politics on the Eve of the Reformation. New York: Basic Books.
  • Guy, J. (2000). Thomas More. Oxford: Oxford University Press.
  • Baker-Smith, D. (2012). More: Utopia and the Ideal Society. Cambridge: Cambridge University Press.

Dukung berbagai Project Raymond Kelvin Nando kedepannya


Citation


Previous Article

Thomas Hobbes

Next Article

Thomas Reid