Daftar Isi
Perfeksionisme menurut Hurka versus Rutherford
Raymond Kelvin Nando, Pontianak — Thomas Hurka (2007) berpendapat bahwa Nietzsche dapat dipahami sebagai perfeksionis moral yang objektif, yaitu: (1) dia memiliki konsep objektif tentang “the good” sebagai maksimisasi kekuasaan (will to power), dan (2) bahwa semua agen harus berusaha memaksimalkan kesempurnaan dari yang terbaik.
Rutherford menolak kedua klaim tersebut:
- Teks Nietzsche tidak mendukung bahwa ada satu “konsep objektif” kebaikan yang berlaku universal untuk semua manusia dalam cara Hurka gambarkan. Nietzsche menolak moralitas konvensional yang mencoba menyamaratakan ideal-ideal hidup;
- Ide bahwa semua orang mesti mengejar kesempurnaan dari yang terbaik juga bermasalah menurut Nietzsche. Rutherford mengajukan bahwa Nietzsche lebih memusatkan idealitas pada individu-tertentu atau pada “noble type” (jenis mulia) yang timbul dalam konteks revaluasi semua nilai.
Ideal Hidup dan Proyeksi Nilai
Menurut Rutherford, perfeksionisme Nietzsche muncul dari proyeksi individu terhadap sebuah ideal hidup, yang dianggap memiliki nilai intrinsik. Individu ini menilai hal-hal lain dalam hidupnya berdasarkan ideal yang diproyeksikan itu.
Kunci lainnya adalah membedakan antara:
- Life-denying ideals (misalnya ideal asketik, yang menyangkal aspek-aspek tertentu dari hidup demi nilai moral/convensional);
- Life-affirming counterideals, yaitu ideal yang menegaskan kehidupan, pemberdayaan individu, kreativitas, ekspresi diri, dan keaslian.
Tipe Mulia (“Noble Type”) dan Ketidakbagiannya
Nietzsche, menurut Rutherford, tidak menganjurkan satu ideal kesempurnaan manusia yang seragam atau yang bisa dibagikan ke semua orang. Sebaliknya, nilai perfeksionisme Nietzsche diekspresikan dalam ideal pribadi yang unik dan hanya cocok bagi “noble type”. Ide ini tidak didesain untuk diikuti oleh semua orang atau dijadikan standar moral umum.
Perbandingan Global dan Teori Perfeksionisme Kontemporer
Perfeksionisme dalam Tradisi Barat
Dalam etika kontemporer, perfeksionisme moral diartikan sebagai teori nilai yang menaruh bobot utama pada pengembangan keunggulan manusia (human excellences) seperti kejujuran, kapasitas kreatif, intelektualitas, estetika, dan kekuasaan rohani.
Teori-teori ini sering menghadapi kritik mengenai:
- Apakah perfeksionisme menuntut terlalu banyak (demandingness issue)
- Potensi elitisme: jika hanya beberapa orang yang dapat mencapai ideal tertinggi, bagaimana dengan banyak orang lainnya?
- Ketidaksesuaian dengan nilai egalitarian atau keadilan sosial.
Hurka sendiri, meski mencoba menjadikan Nietzsche perfeksionis, mendapat kritik oleh Rutherford karena interpretasi Hurka dianggap mengabaikan aspek bahwa Nietzsche menolak universalitas ideal moral biasa.
Perspektif Non-Barat dan Global
Untuk melengkapi, mari kita bandingkan dengan tradisi perfeksionisme di luar Barat:
- Tradisi Konfusianisme: Misalnya dalam filsafat Tiongkok klasik dan modern, perfeksionisme muncul dalam konsep junzi (orang mulia) yang mengembangkan karakter kebijaksanaan, kesopanan, temperamen seimbang. Perfeksionisme di sini tidak sepenuhnya individualistis, karena berakar pada komunitas dan keluarga, dan ideal bersama.
- Tradisi Hindu atau Dharmic: Ide moksha, dharma, penyeimbangan antara karma, upaya rohani, pencapaian diri yang luhur. Dalam beberapa aliran Yoga atau Vedanta, individu diajak mengejar ideal yang tinggi, tetapi sering dalam konteks pembebasan atau persatuan dengan yang transenden, bukan kompetisi kekuasaan pribadi.
- Budaya Jepang / Bushidō / Zen: Ada aspek perfeksionisme dalam konsep kaizen (perbaikan berkelanjutan), dalam seni–seni tradisional seperti kaligrafi, bonsai, tea ceremony, di mana kesempurnaan sebagai proses jangka panjang dan keindahan dalam ketidaksempurnaan.
- Budaya Afrika dan Komunitarianisme: Konsep Ubuntu (southern Afrika) menekankan identitas sosial, saling ketergantungan, dan karakter mulia melalui hubungan—ideal perfeksionisme lebih kolektif daripada eksklusif pribadi.
Dalam banyak budaya non-Barat ini, perfeksionisme tidak identik dengan superioritas atas orang lain, seperti yang terkadang dianggap dari interpretasi Nietzsche. Sebaliknya ada harmoni antara ideal hidup tinggi dan keseimbangan hubungan sosial.
Kesamaan dan Perbedaan
Aspek | Nietzsche / Rutherford | Perfeksionisme Barat kontemporer (Hurka dkk.) | Tradisi non‐Barat |
---|---|---|---|
Ideal pribadi vs ideal universal | Ideal yang sangat pribadi, ideal “noble type” yang tidak dapat dibagikan secara luas. | Ada kecenderungan ideal yang lebih universal, bahkan jika dibedakan menurut potensi individu | Ideal sering lebih kolektif dalam konteks sosial/familial |
Fokus pada kehidupan afirmatif | Menolak ideal asketik, mendukung kehidupan affirmatif, kreativitas, potensi individu. | Varian‐varian banyak: sebagian perfeksionisme barat lebih netral pada aspek asketik; sebagian lainnya agak mendukung kekuasaan, keunggulan | Tradisi rohani sering menggabungkan aspek asketik dan afirmatif, tetapi norma sosial juga menahan absolutisme |
Isu keadilan dan elitisme | Rutherford melihat Nietzsche sebagai perfeksionis elit; tidak semua orang akan, atau harus, mengikuti idealnya. | Kritik terhadap perfeksionisme yang terlalu menuntut atau terlalu tidak adil dalam distribusi | Banyak tradisi mengutamakan keseimbangan antara ideal tinggi dan tanggung jawab sosial/kolektifitas asal budaya |
Kerangka Etika untuk Memahami Perfeksionisme Nietzsche
Agar pembaca bisa memahami implikasi perfeksionisme Nietzsche-Rutherford, berikut adalah beberapa kerangka etika (normatif dan meta) yang relevan:
Etika Kebajikan (Virtue Ethics)
Perfeksionisme Nietzsche sangat terkait dengan etika kebajikan: dia menghargai keunggulan-keunggulan manusia, pengembangan diri, karakter dan gaya hidup. Berbeda dengan kebajikan aristotelian yang cenderung kolektif/partisipatif, Nietzsche sangat menekankan individualitas dan kreasi nilai sendiri.
Konsekuensialisme
Perfeksionisme bisa dibaca sebagai suatu teori nilai dimana nilai sejati tergantung pada hasil pengembangan kualitas (excellences). Namun bagi Nietzsche, konsekuensialisme biasa tidak cocok, karena ia menolak bahwa nilai hanya ditentukan dari agregasi atau kesejahteraan umum; dia lebih menekankan perspektif individu dan bagaimana nilai-nilai diinternalisasi.
Deontologi
Nietzsche secara umum kritis terhadap bentuk-bentuk moralitas yang menjadi kewajiban tanpa memperhatikan bagaimana kewajiban itu muncul dari nilai internal dan afeksi. Jadi perfeksionisme Nietzsche menolak moralitas “normatif universal” ala deontologis yang mengedepankan keharusan berdasarkan aturan yang bisa diikuti semua orang tanpa melihat keunikan individu.
Etika Feminisme
Dari etika feminisme kita bisa menyoroti aspek hubungan, konteks, pengalaman yang sering diabaikan dalam perfeksionisme yang terlalu individualistis. Apakah ideal “noble type” memungkinkan inklusi gender, identitas minoritas, latar budaya yang berbeda? Pertanyaan kritis dari etika feminis sangat relevan untuk menguji kekurangan potensi elitisme di perfeksionisme Nietzsche.
Etika Komunitarianisme
Tradisi yang menekankan ikatan komunitas, nilai bersama, tanggung jawab sosial—seringkali bertolak belakang dengan gagasan Nietzsche tentang individu eksklusif. Namun aspek komunitarian bisa menawarkan koreksi terhadap perfeksionisme Nietzsche: ideal individu tinggi bisa dikaitkan dengan kontribusi terhadap komunitas, bukan hanya dominasi atau superioritas.
Kesimpulan
Interpretasi yang nuansial dari Nietzsche sebagai perfeksionis: bukan perfeksionisme universal, melainkan perfeksionisme untuk jenis mulia, ideal unik, dan penolakan terhadap moralitas asketik dan norma konvensional seragam. Dengan memperluas pemahaman melalui perbandingan global dan kerangka etika kontemporer, kita melihat bahwa gagasan ini sangat relevan tetapi juga membawa risiko—terutama elitisme, tekanan psikologis, dan ketidakadilan sosial.
Namun dengan penerapan yang hati-hati dan reflektif, perfeksionisme Nietzsche dapat menjadi alat yang memberdayakan untuk pembangunan diri, kreativitas, dan keaslian. Ia menantang kita untuk tidak menerima nilai-nilai warisan tanpa mempertanyakan, serta untuk menumbuhkan ideal yang affirmatif terhadap kehidupan.
Referensi
- Nietzsche, F. (1974/1997). The Gay Science. (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
- Nietzsche, F. (1887/1994). On the Genealogy of Morality. (C. Diethe, Trans.). Cambridge University Press.
- Rutherford, D. (2018). Nietzsche as Perfectionist. Inquiry: An Interdisciplinary Journal of Philosophy, 61(1), 42-61. https://doi.org/10.1080/0020174x.2017.1371835
- Stanford Encyclopedia of Philosophy. (2022). Friedrich Nietzsche. Stanford University.
- Wall, S. (2007). Perfectionism in Moral and Political Philosophy. In Stanford Encyclopedia of Philosophy. Stanford University.
- Lorenzini, D. (2024). Nietzsche’s Genealogical Perfectionism. (Manuscript).
- Vaccari, A. (2010). The perfectionist dimension in Friedrich Nietzsche’s critique. Telos.