Raymond Kelvin Nando
  • Beranda
  • Tentang Saya
  • Resources
    • Ebooks
    • Essays
  • Ensiklopedia
    • Ensiklopedia Filsuf
    • Ensiklopedia Ideologi
    • Ensiklopedia Fallacy
    • Ensiklopedia Teologi & Kepercayaan
No Result
View All Result
Raymond Kelvin Nando
  • Beranda
  • Tentang Saya
  • Resources
    • Ebooks
    • Essays
  • Ensiklopedia
    • Ensiklopedia Filsuf
    • Ensiklopedia Ideologi
    • Ensiklopedia Fallacy
    • Ensiklopedia Teologi & Kepercayaan
No Result
View All Result
Raymond Kelvin Nando
No Result
View All Result
Home Friedrich Nietzsche

Kritik terhadap Agama dan Moralitas oleh Nietzsche

Raymond Kelvin Nando by Raymond Kelvin Nando
September 29, 2025
in Friedrich Nietzsche, Essays
Reading Time: 19 mins read
0

Daftar Isi

  • Agama sebagai alat kekuasaan: rasa bersalah, dosa, dan pengendalian
    • Rasa Bersalah sebagai Mekanisme Kontrol
    • Dosa dan Pengendalian Moral
    • Artikel Terkait
    • Friedrich Nietzsche – Seruan Zarathustra [Download PDF]
    • Friedrich Nietzsche
    • Nietzsche dan Perfeksionisme
    • Agama sebagai Kekuasaan Politik dan Sosial
  • Kematian Tuhan: Runtuhnya Otoritas Transenden
  • Moralitas sebagai Konstruksi Historis, Bukan Kebenaran Absolut
  • Referensi

Agama sebagai alat kekuasaan: rasa bersalah, dosa, dan pengendalian

Raymond Kelvin Nando, Pontianak — Dalam On the Genealogy of Morals (1887), Nietzsche menguraikan bagaimana agama, khususnya Kekristenan, tidak hanya menjadi sistem kepercayaan spiritual, melainkan juga mekanisme sosial-politik yang kuat untuk mengendalikan manusia. Menurutnya, agama Kristen berhasil mempertahankan dominasinya bukan dengan kekuatan fisik semata, melainkan dengan menciptakan kategori moral seperti dosa, rasa bersalah, dan pengampunan yang memengaruhi batin manusia secara mendalam (Nietzsche, 1887/1996).

Rasa Bersalah sebagai Mekanisme Kontrol

Nietzsche menelusuri asal-usul konsep “rasa bersalah” (guilt) dengan membandingkannya pada praktik ekonomi kuno. Dalam transaksi awal, hubungan antara kreditur dan debitur diikat oleh janji dan hukuman; jika seseorang gagal membayar utang, ia menanggung rasa bersalah dan menerima balasan. Nietzsche berargumen bahwa agama mengambil pola relasi ini dan memperluasnya menjadi hubungan antara manusia dengan Tuhan: manusia dianggap “berutang” pada Penciptanya, sehingga setiap pelanggaran moral didefinisikan sebagai kegagalan membayar utang spiritual (Owen, 2007).

Dengan cara ini, manusia hidup dalam kondisi hutang eksistensial yang tak pernah lunas, karena dosa dipahami sebagai pelanggaran terhadap Tuhan yang tidak terbatas. Rasa bersalah pun menjadi permanen, melekat pada batin, dan menjadikan individu selalu merasa tidak layak. Kondisi ini, kata Nietzsche, adalah bentuk penaklukan yang lebih efektif daripada rantai fisik: tubuh bisa bebas, tetapi pikiran tetap terikat.

Dosa dan Pengendalian Moral

Agama Kristen, menurut Nietzsche, menciptakan kategori moral absolut—“baik” dan “jahat”—yang ditentukan oleh otoritas gerejawi. Dalam kerangka ini, dosa menjadi instrumen utama untuk mendisiplinkan umat. Dosa bukan sekadar tindakan salah, tetapi pelanggaran yang mengancam keselamatan kekal. Karena sifatnya transenden, dosa menimbulkan rasa takut yang melampaui konsekuensi sosial.

Hal ini memungkinkan agama untuk memegang kekuasaan jangka panjang. Individu yang berdosa akan mencari jalan penebusan melalui pengakuan, ritual, atau ketaatan pada institusi agama. Dengan demikian, otoritas gereja menjadi perantara tunggal antara manusia dan keselamatannya, memperkuat kedudukannya dalam masyarakat (Ansell-Pearson, 1994).

Artikel Terkait

Friedrich Nietzsche – Seruan Zarathustra [Download PDF]

Friedrich Nietzsche

Nietzsche dan Perfeksionisme

Nietzsche menyebut mekanisme ini sebagai internalisasi insting: dorongan manusia yang awalnya bersifat aktif (agresivitas, kebebasan, penciptaan) dialihkan ke dalam, lalu diputar balik menjadi penyesalan, pengekangan diri, dan rasa bersalah. Inilah yang melahirkan tipe manusia “jinak” yang tunduk pada norma eksternal.

Agama sebagai Kekuasaan Politik dan Sosial

Kritik Nietzsche tidak berhenti pada level spiritual, melainkan juga pada dimensi politik agama. Ia melihat bagaimana institusi agama, terutama Gereja Katolik di Eropa, berperan besar dalam mempertahankan struktur kekuasaan feodal. Dengan menyebarkan doktrin tentang dosa dan keselamatan, gereja tidak hanya mengatur kehidupan pribadi tetapi juga melegitimasi hierarki sosial dan politik.

Misalnya, penguasa dipandang memiliki otoritas yang diberikan oleh Tuhan, sementara rakyat diajarkan untuk taat sebagai kewajiban religius. Dalam kerangka ini, agama berfungsi sebagai ideologi dominan yang menjustifikasi ketidaksetaraan sosial dan menghambat perlawanan. Nietzsche menegaskan bahwa kekuatan terbesar agama bukanlah pedang, melainkan narasi moral yang membuat manusia rela ditundukkan.

Kematian Tuhan: Runtuhnya Otoritas Transenden

Nietzsche memperkenalkan gagasan “Tuhan telah mati” (Gott ist tot) dalam karyanya The Gay Science (1882), terutama melalui alegori “Orang Gila” (The Madman). Kalimat ini sering disalahpahami sebagai klaim ateistik sederhana. Padahal, Nietzsche tidak sedang berbicara tentang pernyataan metafisis bahwa Tuhan secara literal ada atau tidak ada. Yang ia maksud adalah kematian Tuhan sebagai runtuhnya otoritas transenden yang selama berabad-abad menjadi dasar moralitas, makna, dan tujuan hidup masyarakat Barat (Nietzsche, 1882/1974).

Artinya, “kematian Tuhan” adalah pernyataan kultural dan historis: keyakinan kolektif terhadap Tuhan sebagai sumber nilai absolut sudah tidak dapat dipertahankan di era modern. Ilmu pengetahuan, sekularisasi, kritik historis terhadap kitab suci, dan pluralitas budaya telah melemahkan posisi agama sebagai fondasi tunggal moralitas.

Kematian Tuhan menimbulkan apa yang Nietzsche sebut nihilisme: kondisi di mana nilai-nilai tradisional kehilangan legitimasi, namun belum tergantikan oleh nilai-nilai baru. Jika moralitas Kristen sebelumnya menjawab pertanyaan tentang “yang baik” dan “yang jahat”, maka setelah runtuhnya otoritas agama, manusia berhadapan dengan kekosongan moral.

Nietzsche melihat ini sebagai bahaya sekaligus peluang. Bahaya karena nihilisme dapat membuat manusia terjebak dalam keputusasaan, relativisme ekstrem, atau apatisme moral. Namun, juga peluang karena nihilisme membuka ruang untuk mencipta nilai-nilai baru yang lebih sesuai dengan kehidupan dan potensi manusia.

Moralitas sebagai Konstruksi Historis, Bukan Kebenaran Absolut

Nietzsche menolak pandangan bahwa moralitas adalah sesuatu yang bersifat absolut atau universal. Menurutnya, moralitas tidak berasal dari hukum ilahi yang kekal atau akal murni yang objektif, melainkan merupakan hasil dari proses historis. Dalam On the Genealogy of Morals (1887), ia menggunakan metode genealogis untuk menelusuri asal-usul nilai moral yang kita kenal saat ini.

Dengan metode ini, Nietzsche menunjukkan bahwa konsep “baik” dan “jahat” bukanlah kategori metafisik yang selalu ada, melainkan hasil perjuangan kekuasaan antara kelompok sosial. Moralitas berubah-ubah tergantung pada siapa yang memegang kendali dalam membentuk makna.

  • Pada awalnya, dalam masyarakat aristokrat kuno, “baik” berarti kuat, berani, mulia, penuh vitalitas—ciri khas para bangsawan atau kelas dominan.
  • Sebaliknya, “buruk” berarti lemah, hina, penakut—ciri khas kelas tertindas.
  • Namun, ketika kelompok tertindas (kaum budak atau rakyat lemah) membalik definisi ini, mereka menciptakan moralitas baru: kelemahan menjadi “baik” (rendah hati, taat, penuh belas kasih), sedangkan kekuatan aristokrat menjadi “jahat” (kejam, egois, penindas).

Dengan demikian, moralitas lahir bukan dari kebenaran transenden, melainkan dari konflik sosial dan dinamika kekuasaan.

Nietzsche menolak klaim universalisme moral seperti yang dikembangkan oleh filsafat Kantian atau teologi Kristen. Bagi Nietzsche, ketika orang mengatakan bahwa suatu tindakan “baik” atau “buruk”, pernyataan itu sebenarnya adalah interpretasi historis yang bersumber dari kepentingan tertentu, bukan kebenaran universal.

Contohnya:

  • Kerendahan hati dipuji dalam moralitas Kristen karena berguna bagi kelompok lemah yang ingin meredam dominasi kaum kuat.
  • Ketaatan dipandang sebagai kebajikan karena memastikan stabilitas sosial, bukan karena ada hukum metafisik yang abadi.
  • Belas kasih diagungkan karena melemahkan kekuatan afirmatif kehidupan, sehingga menguntungkan mereka yang tidak mampu bersaing secara langsung.

Nietzsche menyebut kecenderungan ini sebagai moralitas budak, yakni moralitas yang lahir dari ressentiment (dendam) kaum lemah terhadap yang kuat.

Referensi

  • Nietzsche, F. (1887). On the Genealogy of Morals (Zur Genealogie der Moral).
  • Nietzsche, F. (1882). The Gay Science (Die fröhliche Wissenschaft).
  • Widi Cahyanto, D. (2024). Moralitas Menurut Friedrich Nietzsche: Eksplorasi “Mentalitas Budak”. Moraref, Universitas Sanata Dharma.
  • Haikal. (2025). Kritik Friedrich Nietzsche terhadap Perilaku Keagamaan Sebagai Manipulasi Untuk Kehendak Berkuasa. UIN Syekh Nurjati Cirebon.

Raymond Kelvin Nando

Raymond Kelvin Nando

Akademisi dari Universitas Tanjungpura (UNTAN) di Kota Pontianak, Indonesia.

  • Tentang Saya
  • Contact
  • Privacy Policy

© 2025 Raymond Kelvin Nando — All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Tentang Saya
  • Resources
    • Ebooks
    • Essays
  • Ensiklopedia
    • Ensiklopedia Filsuf
    • Ensiklopedia Ideologi
    • Ensiklopedia Fallacy
    • Ensiklopedia Teologi & Kepercayaan

© 2025 Raymond Kelvin Nando — All Rights Reserved