Francis Hutcheson

Raymond Kelvin Nando, Pontianak — Francis Hutcheson adalah filsuf moral Skotlandia abad ke-18 yang dikenal sebagai salah satu tokoh utama Scottish Enlightenment. Ia menekankan peran moral sense sebagai dasar penilaian etis, dan mengembangkan gagasan bahwa manusia secara alami terdorong oleh empati serta kebaikan, bukan semata-mata kepentingan diri.

Biografi Francis Hutcheson

Francis Hutcheson lahir pada tahun 1694 di Drumalig, Ulster, Irlandia Utara, dari keluarga presbiterian yang taat. Ayahnya adalah seorang pendeta, dan sejak muda Hutcheson terbiasa dengan lingkungan intelektual yang religius. Pendidikan awalnya ditempuh di bawah bimbingan keluarga, yang menanamkan dasar-dasar teologi dan filsafat.

Pada usia muda, Hutcheson melanjutkan studi ke University of Glasgow, di mana ia mempelajari filsafat, logika, dan teologi. Di Glasgow, ia dipengaruhi oleh tradisi intelektual Skotlandia yang kritis terhadap dogmatisme. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia sempat membuka akademi swasta di Dublin, di mana ia mengajar filsafat kepada calon pendeta dan pemuda terpelajar.

Karier akademiknya mencapai puncak ketika ia diangkat menjadi profesor filsafat moral di University of Glasgow pada tahun 1730. Di sana, ia menjadi mentor bagi tokoh-tokoh penting, termasuk Adam Smith, yang kelak mengembangkan teori ekonomi politik dan etika dalam The Theory of Moral Sentiments.

Hutcheson aktif menulis berbagai karya yang memengaruhi perkembangan filsafat moral modern. Karya-karya pentingnya antara lain An Inquiry into the Original of Our Ideas of Beauty and Virtue (1725), An Essay on the Nature and Conduct of the Passions and Affections (1728), serta A System of Moral Philosophy (diterbitkan secara anumerta pada 1755).

Francis Hutcheson wafat pada tahun 1746 di Dublin. Meskipun hidupnya relatif singkat, pemikirannya meninggalkan jejak yang mendalam dalam tradisi filsafat moral modern dan menyiapkan landasan bagi utilitarianisme serta teori etika sentimental.

Konsep-Konsep Utama

Moral Sense

Hutcheson mengajukan gagasan bahwa manusia memiliki moral sense, yakni kemampuan bawaan untuk menilai tindakan sebagai baik atau buruk. Moralitas bukanlah hasil kalkulasi rasional semata, melainkan respons spontan dari indera moral.

Hutcheson menulis:

“That action is best, which procures the greatest happiness for the greatest numbers.” (An Inquiry into the Original of Our Ideas of Beauty and Virtue, 1725)

Hutcheson menjelaskan bahwa tindakan yang bernilai moral adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dengan ini, ia meletakkan dasar bagi prinsip utilitarianisme yang kemudian dikembangkan Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Disinterested Benevolence

Hutcheson menolak pandangan egoistik yang menyatakan bahwa semua tindakan manusia termotivasi oleh kepentingan diri. Menurutnya, manusia memiliki kapasitas alami untuk disinterested benevolence, yakni kebaikan yang tidak didorong oleh keuntungan pribadi.

Hutcheson menulis:

“In the moral sense, the affections which tend to the good of others, are approved, and those which are detrimental, disapproved.” (Essay on the Nature and Conduct of the Passions and Affections, 1728)

Hutcheson menjelaskan bahwa naluri manusia menyukai kasih sayang yang menguntungkan orang lain, dan menolak sikap yang merugikan. Ini memperkuat keyakinannya bahwa manusia tidak semata makhluk egois.

Estetika dan Moralitas

Hutcheson berpendapat bahwa prinsip yang sama mengatur pengalaman estetika dan moral. Keindahan dan kebajikan sama-sama ditangkap melalui intuisi inderawi, bukan lewat rasio analitis. Dengan demikian, ada keterkaitan mendalam antara rasa estetis dan rasa moral.

Hutcheson menulis:

“The ideas of beauty and virtue flow from a sense, distinct from all our external senses or from imagination.” (An Inquiry into the Original of Our Ideas of Beauty and Virtue, 1725)

Hutcheson menjelaskan bahwa rasa keindahan dan rasa kebajikan sama-sama berasal dari indera batiniah, yang berbeda dari penglihatan, pendengaran, atau imajinasi.

Kritik terhadap Egoisme Hobbesian

Thomas Hobbes menekankan bahwa manusia pada dasarnya egois dan mencari kepentingan pribadi. Hutcheson menolak hal ini dan menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan alami menuju kebajikan serta empati.

Hutcheson menulis:

“Every moral quality is approved, not because it is useful to ourselves, but because it is benevolent to others.” (A System of Moral Philosophy, 1755)

Hutcheson menjelaskan bahwa penilaian moral tidak muncul dari kegunaan pribadi, tetapi dari sejauh mana suatu tindakan menunjukkan kebaikan terhadap orang lain.

Landasan Utilitarianisme

Meskipun bukan seorang utilitarian penuh, Hutcheson sering dianggap sebagai perintis karena rumusannya tentang kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar. Prinsip ini kemudian diadopsi oleh Bentham sebagai dasar teori utilitarianisme.

Hutcheson menulis:

“The greatest happiness for the greatest number is the measure of right and wrong.” (An Inquiry into the Original of Our Ideas of Beauty and Virtue, 1725)

Hutcheson menjelaskan bahwa ukuran moralitas adalah sejauh mana suatu tindakan meningkatkan kebahagiaan kolektif.

Kebebasan dan Tanggung Jawab Moral

Hutcheson menekankan pentingnya kebebasan dalam tindakan moral. Ia percaya bahwa moralitas tidak mungkin ada tanpa kebebasan memilih, sehingga manusia bertanggung jawab atas tindakannya.

Hutcheson menulis:

“Without liberty, there can be no moral goodness.” (A System of Moral Philosophy, 1755)

Hutcheson menjelaskan bahwa kebajikan sejati hanya mungkin jika tindakan dilakukan dengan kehendak bebas, bukan karena paksaan.

Hubungan dengan Pendidikan Moral

Sebagai pendidik, Hutcheson meyakini bahwa moral sense dapat dipupuk melalui pendidikan yang tepat. Pendidikan harus mengembangkan kepekaan moral dan rasa simpati, bukan sekadar mengajarkan aturan abstrak.

Hutcheson menulis:

“Education should cherish the benevolent affections, and form the mind to delight in public good.” (A System of Moral Philosophy, 1755)

Hutcheson menjelaskan bahwa pendidikan moral harus mengarahkan manusia untuk mencintai kebaikan umum, bukan hanya kepentingan pribadi.

Dalam Konteks Lain

Hubungan dengan Shaftesbury

Anthony Ashley Cooper, Earl of Shaftesbury, menulis:

“The sense of right and wrong is as natural to us as the sense of sweet and bitter.” (Characteristics of Men, Manners, Opinions, Times, 1711)

Shaftesbury menjelaskan bahwa moralitas bersifat alami, sebuah gagasan yang memengaruhi Hutcheson dalam mengembangkan teori moral sense.

Hubungan dengan Adam Smith

Adam Smith menulis:

“Man naturally desires, not only to be loved, but to be lovely.” (The Theory of Moral Sentiments, 1759)

Smith menjelaskan bahwa manusia mencari pengakuan moral, dan ini merupakan kelanjutan dari gagasan Hutcheson tentang moral sense dan empati.

Hubungan dengan David Hume

David Hume menulis:

“Morality is determined by sentiment.” (A Treatise of Human Nature, 1739)

Hume menjelaskan bahwa moralitas berakar pada perasaan, sejalan dengan teori Hutcheson tentang moral sense, meskipun Hume lebih menekankan peranan kebiasaan sosial.

Relevansi Kontemporer

Pemikiran Hutcheson relevan dalam diskusi etika kontemporer, terutama tentang dasar biologis moralitas, psikologi moral, dan perdebatan antara egoisme dan altruisme.

Martha Nussbaum menulis:

“Compassion is a central bridge between the individual and the collective good.” (Upheavals of Thought, 2001)

Nussbaum menjelaskan bahwa belas kasih menjadi jembatan penting antara individu dan kepentingan kolektif, yang beresonansi dengan gagasan Hutcheson tentang benevolence.

Kesimpulan

Francis Hutcheson adalah filsuf moral yang menekankan moral sense sebagai dasar penilaian etis. Melalui gagasan disinterested benevolence, ia menolak egoisme sempit dan menekankan altruisme alami manusia. Karyanya meletakkan dasar bagi utilitarianisme, memengaruhi Adam Smith dan David Hume, serta memberikan fondasi bagi etika sentimental modern.

Frequently Asked Questions (FAQ)

Apa kontribusi utama Francis Hutcheson dalam filsafat moral?

Ia memperkenalkan konsep moral sense sebagai dasar alami penilaian moral.

Bagaimana Hutcheson memengaruhi utilitarianisme?

Ia merumuskan prinsip “the greatest happiness for the greatest number” yang kemudian diadopsi Bentham.

Siapa murid terkenal Hutcheson?

Adam Smith, penulis The Wealth of Nations dan The Theory of Moral Sentiments.

Referensi

  • Hutcheson, F. (1725). An Inquiry into the Original of Our Ideas of Beauty and Virtue. London: J. Darby.
  • Hutcheson, F. (1728). An Essay on the Nature and Conduct of the Passions and Affections. London: J. Darby.
  • Hutcheson, F. (1755). A System of Moral Philosophy. Glasgow: R. & A. Foulis.
  • Shaftesbury, A. A. (1711). Characteristics of Men, Manners, Opinions, Times. London: John Darby.
  • Hume, D. (1739). A Treatise of Human Nature. London: John Noon.
  • Smith, A. (1759). The Theory of Moral Sentiments. London: A. Millar.
  • Nussbaum, M. (2001). Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions. Cambridge: Cambridge University Press.